Example 728x250
Beranda

VIDEO VIRAL MERESPONS MENKES RI

100
×

VIDEO VIRAL MERESPONS MENKES RI

Sebarkan artikel ini


DIMANAKAH KEKUASAAN PEMERINTAH?Mengingatkan Kembali Reinventing Government di Indonesia

Oleh : Dr.Abidinsyah Siregar/CEO BPP-OBKESINDO

Golansia.com — Pemerintah tampak berkuasa ketika seluruh Stakeholders khususnya ketika unsur masyarakat dan swasta tidak berdaya. Dalam kondisi tersebut maka Pemerintah menjadi yang terdepan atau berkuasa. Tetapi relevankah kondisi itu terjadi di era Desentralisasi paska Reformasi?

Beredar video viral dimana seseorang yang namanya tertulis dilayar dr.Gregory Budiman, M.Biomed memberi komentar atas potongan-potongan pernyataan Menteri Kesehatan RI yang terkesan masygul dengan kekuasaannya.

Masygul atau kesal bahkan mungkin sebal karena merasa tidak punya kuasa. Pak Menkes Budi Gunadi Sadikin memahami sebagai Pemerintah maka ia seharusnya bisa memerintah dan mengatur semua urusan yang berada dalam urusan yang diberikan Negara sebagai urusannya sesuai Undang-Undang.

Kemasygulan pak Menkes dinilai dr.Gregory Budiman,M.Biomed sebagai playing victim. Apa itu playing victim? Dalam pengertian umum disebutkan maknanya sebagai tindakan manipulatif dimana seorang pelaku yang melakukan kesalahan bertindak seakan-akan sebagai korban. Istilah ini sering terdengar didunia sepakbola. Bisa juga terjadi di Pengadilan.

Rasanya terlalu jauh ketika pertanyaan-pertanyaan sudah disebut atau dianalogikan sebagai playing victim. Selain jauh juga berlebihan.

Menteri Kesehatan pada suatu kesempatan mengatakan Pemerintah harus bisa memerintah. Sekarang, katanya tidak bisa. Tidak bisa mengatur produksi Dokter, baik lulusan, perizinan hingga distribusi atau penempatan. Pemerintah juga tidak bisa mengatur praktik Dokter termasuk sengketa antar Dokter bahkan antar Profesi.

Kemasygulan itu tentu belum tepat disebut sebagai playing victim, karena pak Menkes baru mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang mengisyaratkan implisit keinginan “mengatur” agar sistem kesehatan berjalan teratur.

Memang tidak mudah bagi pak Menkes untuk membantu Presiden melaksanakan pekerjaan super besar dan super rumit ini. Apalagi karir dan kompetensi beliau bukan dari dunia Kesehatan apalagi Kedokteran.
Namun bisa dibaca bahwa Menkes memiliki ekspektasi agar segala hal yang terkait pelayanan kesehatan yang merupakan “kewajiban” Pemerintah bisa berjalan teratur, tertib, kompak, responsif dan produktif.

Namun dalam sistem Pemerintahan desentralisasi yang dianut sejak era Reformasi, fungsi Pemerintah sudah ditata sedemikian rupa dengan mendorong dan berbagi dengan peran Daerah, peran Swasta dan peran Masyarakat baik sebagai seseorang maupun sebagai Perkumpulan/ Organisasi.

Sejak itu fungsi Pemerintah tidak lagi kekuasaan. Sejak itu pula aparat Pemerintah diseluruh level jabatan mengikuti banyak pelatihan Reinventing Government yang intinya perubahan sistim yang mendorong peningkatan efektifitas dan efisiensi. Efektif bermakna tepat sasaran dan sasaran tepat. Sedangkan Efisiensi bermakna Pemerintah membatasi diri pada fungsi untuk menggerakkan seluruh pemegang peran (Stakeholders) untuk bekerja dan bersinergi, agar semua bekerjasama sehingga irit anggaran, irit sumberdaya manusia, irit waktu.

Apa yang dimaksud dengan kata Pemerintah sudah terdiri dari banyak unsur yang setiap unsur memiliki tanggung jawab, keterbatasan dan pembatasan sesuai Tugas pokok dan fungsinya, sehingga otomatis sukses tatakelola Pemerintah (Pusat) tergantung kepada seberapa dekat dengan seluruh stakeholders strategisnya.

Sistem Pemerintahan yang dibagi atas Pemerintah Pusat dan Daerah pun kadangkala belum tentu menghasilkan satu kebijakan produktif. Bisa jadi kontra produktif apabila prioritas masing-masing unsur Pemerintah itu berbeda-beda. Keadaan semakin buruk jika muncul mentalitas silo yaitu mentalitas yang lebih mementingkan diri atau kinerja tim sendiri dan acuh terhadap kepentingan tim lainnya, yang dapat bermuara pada penurunan kinerja organisasi dan berpotensi memperburuk hubungan personal antar tim. Kondisi ini bisa pula terjadi antar Kementerian/Lembaga, egosentris.

Pada banyak kesempatan Presiden Jokowi selalu mengingatkan kepada keharusan merujuk pada Visi Presiden dan tentunya para Menteri menurunkan kepada Misi yang disusun secara konprehensif dengan melibatkan seluruh Stakeholdersnya dibawah kordinasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan kordinasi Pembangunan Daerah kepada Menteri Dalam Negeri, selain Kordinasi rutin dengan Menteri Kordinator (Menko) terkait.

Jika itu dilakukan dengan penuh tanggungjawab (Akuntabel) dan terbuka (Transparan), selain menemukan pola kerja yang terdistribusi secara adil juga terpadu, kompak dan kolaboratif serta sinergistik.

Dalam urusan Kesehatan dan Kedokteran dengan seluruh turunannya, Menteri Kesehatan punya banyak stakeholders hebat dan kuat seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Konsil Kedokteran Indonesia, KTKI, IDI (Organisasi Profesi Dokter) beserta seluruh Kolegium Keilmuan Kedokteran dan Spesialisasi didalamnya, PDGI (Organisasi Profesi Dokter Gigi) beserta seluruh Kolegium Keilmuan Kedokteran Gigi dan Spesilisasi didalamnya, Asosiasi Institusi Pendidikan seperti AIPKI (Kedokteran) dan LADOKGI (Kedokteran Gigi), juga PERSI (Rumah Sakit) dan banyak lagi termasuk dari berbagai Profesi terkait lainnya seperti Keperawatan, Kebidanan, Gizi, dan seterusnya, juga termasuk Pemerintah Daerah.

Tugas pokok Pemerintah memastikan pengorganisasian seluruh Stakeholders sudah berjalan sesuai ketentuan, fungsional, harmonis dan saling terkait serta membangun mekanisme kontrol dan kendali mutu sehingga progres bisa terjaga, terukur dan tercapai pada waktunya.

Tata kelola di Daerah, harus menempel pada kewenangan Kementerian Dalam Negeri yang sesuai aturan berfungsi sebagai Kordinator Pembangunan Daerah, sehingga semua kebijakan Sektoral harus kolaboratif dengan Struktur yang dikendalikan Mendagri, sesuai Undang-Undang No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No.12 tahun 2017 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2018 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No.59 Tahun 2021 tentang Penerapan SPM.

https://www.instagram.com/reel/CoD8gS0InRakV0EE–G_5sKVm169nXHBQRFstw0/?igshid=YmMyMTA2M2Y=

ADA APA DENGAN VIDEO VIRAL DR.BUDIMAN DAN MENKES BUDI

Setelah 3 kali penulis ulang-ulang melihat dan mengobservasi Video tersebut, menemukan rasionalitas pesan didalamnya yang sangat positif.

Intinya agar Stakeholders Pembangunan Kesehatan aktif mengambil peran dan kolaboratif. Menkes Budi benar dan Dr.Budiman juga benar.

Pada banyak kesempatan Menkes selalu mengatakan pembangunan Kesehatan tidak bisa dibebankan hanya kepada Kementerian Kesehatan.

Perkumpulan Observasi Kesehatan Indonesia (OBKESINDO) pada kesempatan diterima Menkes yang didampingi para Eselon-1 Kemenkes pada 27 Desember 2022 juga menyampaikan hal yang sama.

Sebagai Perkumpulan Purna Bhakti ASN mantan eselon 1 dan 2 berbagai Kementerian/Lembaga, dan Pati Purnawirawan TNI/Polri serta sejumlah Tokoh peduli kesehatan lintas ilmu, lintas profesi dan lintas budaya, mengobservasi adanya ancaman masalah kesehatan dan beban pembiayaan yang semakin membesar, jika tidak dilakukan Transformasi yaitu perubahan atau penyesuaian atau merubah cara pandang dan atau pendekatan dalam Pembangunan Kesehatan.

Para Observer OBKESINDO (Indonesia Health Observer/IHO) merasakan jabatan dibatasi Tugas pokok dan fungsi. Apalagi ketika para Stakeholders berprilaku egosentris maka tidak ada perubahan yang bisa dicapai.

Paska Pemerintahan era Bung Karno, Pak Harto dan Pak Habibie telah memperkuat peran politik Masyarakat dan Usahawan non Pemerintah yaitu Swasta. Sejak itu era Sentralistik memasuki era Desentralisasi.

Sejak itu pula aparat Pemerintah diperkenalkan dengan perpaduan konsep Peter Drucker (1909-2005) yang dikenal sebagai Bapak Menejemen Modern yang terkenal dengan Manajemen Berdasarkan Tujuan (Management By Objective/MBO) dan Kontrol.

Dan David Osborne & Gaebler yaitu pendekatan Reinventing Government untuk mencapai Clean and Good Governance, dimana pemerintahan merubah sistem dan organisasinya secara mendasar dan ramping serta fungsional untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan inovasi.

Salah satu sifat Reinventing Gov’t adalah Pemerintahan Katalis dimana Pemerintah lebih berperan mengarahkan (fasilitatif) daripada mengayuh (Steering rather than rowing). Masyarakat dan Swasta semakin terlibat dalam penyelenggaraan fungsi Pemerintah. Pemerintahan tidak lagi sendiri, kemandirian semakin menonjol dan efektif juga efisien.

TIGA TUNGKU SAJARANGAN

Dalam Bahasa budaya, mengadopsi model kepemimpinan di tanah Minangkabau, atau ditanah Batak disebut Dalihan Na Tolu, tegaknya Pemerintahan disokong oleh tiga pilar yaitu Pemerintah, Swasta dan Masyarakat.

Model empirik ini membuktikan betapa kuat dan efektifnya kepemimpinan budaya yang sudah berusia ratusan tahun, karena melibatkan semua unsur utama sebagai satu tim kerja terpadu.

Pesan penting dari model budaya ini menunjukkan Pemerintah bukan segala-galanya, Swasta bukan segala-galanya dan Masyarakat bukan segala-galanya, tetapi dalam mencapai satu tujuan tidak bisa satupun mengabaikan yang lain karena jika pilarnya dua akan jatuh, jika pilarnya satu tidak bisa berdiri, jadi memang harus dengan Tiga Pilar untuk menjadikan sebuah sistem bisa tegak dan tidak goyah.

David Osborne dan Gaebler dalam bukunya Reinventing Government, memberikan sepuluh resep pemberdayaan birokrasi yang relevan diterapkan dalam Pembangunan Kesehatan, Lima diantaranya yaitu :

a. Catalytic Government : (Steering Rather Than Rowing ). Pemerintah lebih focus sebagai pengarahan atau fasilitatif.

b. Community-Owned Government : (Empowering Rather Than Serving). Memberdayakan masyarakat (termasuk Organisasi Kemasyarakatan/ Profesi) tidak sekedar melayani.

c.Mission-Driven Government : (Transforming Rule-Driven Organizations). Organisasi yang lebih digerakan oleh misi daripada Peraturan.

d. Anticipatory Government : (Prevention Rather than Cure). Memperkuat pendekatan Promotif dan Preventif daripada Kuratif/mengobati.

e. Decentralized Government : (From Hierarchy to Participation and Team Work). Dari hierarkhi menuju partisipatif, kerja tim dan kemandirian.

Dengan pendekatan Steering (pengarah), Public Empowering (pemberdayaan masyarakat), Need of the consumer, not the beureaucracy (memahami tuntutan masyarakat), Earning (Efisiensi/Penghematan dengan melibatkan Masyarakat dan Swasta) dan Prevention (Mencegah lebih diutamakan daripada memperbaiki), Pemerintah “berkuasa” mendorong dan memfasilitasi simpul-simpul peran Stakeholders menjalankan fungsinya dengan Akuntabel, Transparan dan Responsibel.

Jakarta Sunter, 30 Januari 2023

*)Dr.Abidinsyah Siregar,DHSM,MBA,MKes :

Purna Bakti Kemenkes/BKKBN, Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes (2017-2022)/Deputi BKKBN (2013-2017)/ Komisioner KPHI (2013-2019)/Direktur BinaYankestradkom Kemenkes (2011-2013)/ Sekretaris Inspektorat Jenderal Depkes (2010-2011)/ Kepala Pusat Promkes Depkes RI (2008-2010)/ Sekretaris KKI (2005-2008)/ Alumnus Public Health Management Disaster, WHO Searo, Thailand (2004)/Int’l Training Of Auditor, Atlanta, USA(2010)/Traditional China Med Training, Nanjing, China-(2012).

Organisasi : Ketua Umum (CEO) BPP OBKESINDO (IHO)/ Ketua MN Kahmi (2009-2012)/ Ketua PB IDI (2012-2015/ Sekretaris Jenderal PP IPHI/ Ketua PP ICMI/ Ketua Depkes PP DMI/ Waketum DPP JBMI/ Ketua PP ASKLIN/ Penasehat BRINUS/ Penasehat Gowes KOSEINDO/ Ketua IKAL FKUSU/ Ketua PP KMA-PBS/ Wakorbid.PP IKAL-Lemhannas/ Pengasuh mediasosial GOLansia.com dan Kanal-kesehatan.com

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *