Example 728x250
Beranda

Mencari Alasan Logis, Mendirikan Ikatan Dokter Indonesia Selain IDI?

113
×

Mencari Alasan Logis, Mendirikan Ikatan Dokter Indonesia Selain IDI?

Sebarkan artikel ini


Memahami Organisasi Profesi Mencari Alasan Logis Mendirikan IDI Selain IDI

Penulis : Dr.Abidinsyah Siregar,DHSM,MBA,MKes  (Mantan Sekretaris KKI 2006-2008/ Mantan Ketua IDI Cabang Medan 2003-2005/ Mantan Ketua PB IDI 2006-2009/ Majelis Pakar PB IDI)

GOLANSIA.COMPublik tergelitik dengan pernyataan spontan follower medsos dan bahkan tokoh yang mewacanakan berdirinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) baru.

Wacana itu muncul karena seorang Dokter dikenai Sanksi Organisatoris berupa pemecatan sebagai anggota IDI. Tentu akibatnya, saat nanti sang Dokter mengajukan perpanjangan Surat Izin Praktik (SIP) yang diterbitkan Pemerintah melalui Dinas Kesehatan Kabuparen/Kota setempat atau pada beberapa Daerah lainnya diselenggarakan oleh suatu UPT/Dinas Perizinan terpadu, tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan Izin karena tidak memiliki Rekomendasi IDI setempat.

Melihat situasi itu, publik yang “belum paham” mewacanakan macam-macam, termasuk mendorong pembentukan IDI-lain, dengan harapan lewat IDI-lain itu kebutuhan sesaat dapat dipenuhi.

Mungkin sudah kebayang besok sudah bisa berdiri Ikatan Dokter Batak Indonesia (IDBI), Ikatan Dokter Makassar Indonesia (IDMI), Ikatan Dokter Sunda Indonesia (IDSI), dan lain-lain, bahkan mungkin ada yang semangat memberi nama Ikatan Dokter Bukan IDI Indonesia (IDBII)

Sering gaduhnya dunia keorganisasian telah membuat sebahagian masyarakat kita “men-generalisasi” kepada kebiasaan gampangan yang selama ini ditempuh, dengan mendirikan Organisasi baru.

Banyak Organisasi Kemasyarakatan, tiba-tiba menjadi dua atau tiga organisasi baru, dan direspons dengan sedikit riak kemudian diam dan diam selamanya. Demikian pula Partai Politik, sebesar apapun partai itu bisa beranak-pinak dan minta pengakuan kedudukan yang sama, bisa, kemudian diam dan diam selamanya.

 

Profesi dan Pengawalan Profesi

Dokter adalah sebuah profesi. Sama halnya dengan Sarjana Hukum. Akuntan. Guru atau Dosen. Profesi (dikutip dari Wikipedia) bermakna: “Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen”.

Profesi memiliki Kompetensi. Kompetensinya meliputi Knowledge (Pengetahuan yang terakreditasi dengan standar diakui), Skill (Keterampilan yang teruji dan terukur) dan Attitude (Perilaku, yang diukur dari Etika dan Pemahamannya atas berbagai Peraturan per-Undang-Undangan yang terkait dengan Profesinya).

Untuk itu setiap Profesi, agar semakin matang dan kuat menjaga Kompetensinya serta patuh dan disiplin dalam Profesinya, perlu dan butuh Pelatihan yang mempertajam Kompetensinya, Yang untuk itu Profesi harus memiliki Asosiasi Profesi, memiliki Kode Etik, Uji Kompetensi dan Uji Ulangnya untuk Herregistrasi, Registrasi dan Lisensi/Perijinan.

Hanya dengan Persyaratan dan Prosedur yang ketat, dilahirkan Profesional yang amanah dan setia pada Sumpah Profesi dan Kode Etik Organisasinya.

 

Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran

Jauh sebelum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang Praktik Kedokteran, yang disahkan dan diundangkan pada tahun 2004, organisasi profesi Dokter yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah eksis dan efektif menjaga etika dan kompetensi Dokter di Indonesia, termasuk Dokter lulusan asing.

Pengaturan bagi Dokter memang tidak mudah karena banyak kepentingan dan keinginan sang Dokter, disamping adanya kepentingan pengusaha fasilitas kesehatan dimana sang Dokter bekerja dan juga kepentingan Pabrik Farmasi/Obat yang berlomba satu sama lain untuk mencapai target penjualannya.

Namun juga tidak pula  sulit untuk diatur, karena sejak dini dibangku kuliah para mahasiswa Kedokteran sudah mendapat mata ajaran Etika dan Hukum Kesehatan dan Kedokteran. Para pengajar umumnya Guru Besar dari Fakultas Hukum. Pemahaman Etika dan Hukum menjadi semakin penting saat fase Kepanitraan Klinik atau Koas (ko-asisten).

Koas adalah tahapan Pendidikan kedokteran yang paling berat dan kritis. Dalam fase ini, sang Calon dokter menjalani praktik di Rumah Sakit. Banyak merasa fase ini menegangkan, emosional, sedih, merasa bodoh atau dibodohi. Tidak jarang dihadapan pasien “direndahkan” oleh Dokter Klinik karena kelalaian kecil yang dilakukan Koas.

Semangat dan pilihan profesi, mengendalikan rasa dan emosi sang Koas yang menyadari bahwa semua itu untuk membuatnya terasah dan tetap waspada untuk semua kemungkinan buruk terhadap pasien, karena prinsip dasar pelayanan Kedokteran termasuk melindungi pasien.

Tidak jarang pula terkhabar ada rekan Koas yang sampai di skors karena  prilaku buruk terhadap pasiennya. Itupun belum cukup untuk dinyatakan selesai Pendidikan formal Ilmu Kedokterannya, sebelum di sumpah.

Sumpah Dokter sudah berlangsung sejak 400 Tahun sebelum Masehi, dimana Hippokrates, Bapaknya Para Dokter, memberlakukan pengangkatan Sumpah karena rentannya profesi Dokter disatu sisi dan tingginya tuntutan untuk menjadikan Dokter sebagai Profesi yang mulia.

Indonesia baru mulai merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran sekitar tahun 1999-2000, saat itu Menteri Kesehatan adalah Profesor Farid.A.Moeloek. Tim penyusun naskah bekerja dan mencari referensi hingga ke beberapa Negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan beberapa Negara Asia.

Semua Negara punya sistem yang berat dan dipandang belum saatnya untuk diterapkan di Indonesia. Percepatan proses pembahasan bersama pihak DPR RI setelah menyadari bahwa banyak Negara sudah punya Regulasi yang mengatur tentang Praktik Dokter. Bahkan Banglades sudah mendapat Sertifikasi Internasional.

Tahun 2000 Presiden BJ Habibie menerbitkan Ampres atas 5 RUU yang diajukan kepada DPR RI yang meliputi Praktik Dokter (yang kemudian digabungkan dengan Dokter Gigi), Farmasi, Bidan dan Perawat.

4 Tahun kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 dengan ditandatangani Presiden RI Ibu Megawati Soekarnoputri, barulah sah dan diundangkan  UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berisi 12 Bab dan 88 Pasal.

Diakhir Pasal 88 tertulis “Agar setiap orang mengetahuinya”.

UU No.29 Tahun 2004 menandai Era baru Praktik Kedokteran bagi Dokter dan Dokter Gigi dengan pengayaan dan pengawalan atas Kompetensi dan Tanggangjawab medik untuk memberikan pelayanan yang terbaik berdasar Standar dan melindungi Pasien.

Peran Organisasi Profesi

Dalam narasi Penjelasan atas Undang-Undang No.29 Tahun 2004, antara lain pada alinea ke-6 dan 7 tertulis : Berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum.

Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang.

Selanjutnya alinea ke-10 Penjelasan UU No.29 tahun 2004, tertulis : Dengan demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati ketentuan kode etik yang disusun oleh organisasi profesi dan didasarkan pada disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Melihat kepada proses kesejarahan, latar belakang dan penyusunan Undang Undang Praktik Kedokteran, bukan sekedar bicara Hukum tetapi yang utama adalah bagaimana setiap orang Dokter dan Dokter Gigi utuh integritasnya dengan Kompetensi yang dimiliki.

Organisasi Profesi Dokter lintas Negara adalah World Medical Association (WMA), suatu konfederasi internasional yang independent, beranggotakan asosiasi-asosiasi profesi medis yang juga independen.

WMA yang didirikan 18 September 1947 hingga kini beranggotakan seluruh dokter dari seluruh dunia yang terhimpun dalam 113 Asosiasi ditingkat Nasional. Di Indonesia adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang berdiri tahun 1950.

WMA memfasilitasi forum bagi asosiasi anggota untuk dapat berkomunikasi secara bebas, bekerja sama secara aktif, dan mencapai standar etik medis dan kompetensi profesi yang tinggi, untuk membantu meningkatkan kebebasan profesi bagi dokter di seluruh dunia.

Forum WMA bertujuan untuk memfasilitasi penanganan pasien yang berkualitas dalam lingkungan yang sehat, yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup bagi seluruh manusia di dunia.

Tantangan Peningkatan Profesi

Pengalaman penulis ketika menjadi Sekretaris Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2006-2008 dan bahkan hingga sekarang selalu dihubungi oleh banyak dokter juga orangtua dokter yang merasa kecewa dan keberatan misalnya, karena sang anak sudah berulang kali mengikuti uji kompetensi dokter (UKDI) namun gagal.

Sang orangtua merasa anaknya bagaikan dipersulit menjadi dokter untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan KKI, sebagai persyaratan awal setiap Dokter untuk berpraktik. Sebagian dengan emosional  mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan dokter. Ada lagi mengatakan bahwa kami membiayai pendidikan anak kami sudah sampai ratusan juta dan macam-macam kata-kata sumpah serapah.

Penulis hanya menjawab bahwa itulah konsekuensi menjadi dokter tak cukup hanya pengetahuan atau kognitif semata karena di dalam penilaian  juga dinilai skill atau keterampilan serta etika atau pemahaman terhadap berbagai peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian setiap dokter apabila sudah memiliki STR, maka ia sudah memiliki keseluruhan apa yang dimaksud dengan kompetensi yaitu pengetahuan yang utuh dan mutakhir, keterampilan yang terasah dan cepat dalam bertindak, serta etika yang terpuji.

Itulah yang menjadikan pekerjaan setiap dokter boleh dikatakan sebagai sebuah profesi yang mulia

Dokter atau Dokter gigi yang tidak menjalankan profesinya sejalan dengan Kompetensi yang dimiliki dan diakui, sesungguhnya bukan berhadapan dengan Organisasi Profesi seperti IDI bagi Dokter atau PDGI bagi Dokter Gigi, tetapi dalam narasi UU No.29 tahun  2004 adalah “melawan” Negara dan dapat terancam pasal pidana.

Organisasi Profesi (IDI dan PDGI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Kolegiun Keilmuan dan semua Perangkat yang tersebut dalam Undang-Undang adalah bekerja untuk atas nama Negara dan Hak Azasi Manusia yang diamanatkan UUD 1945.

Pertanyaan Yang Sedang Viral Apakah Bisa Mendirikan Ikatan Dokter Indonesia  Lain Diluar IDI?

Mudah-mudahan penjelasan sederhana ini bisa membantu menyegarkan wawasan kita tentang makna Organisasi Profesi didunia Kedokteran, yang alirannya bukan sektarian, politis, kedaerahan bahkan keagamaan. Profesi Dokter dan Dokter Gigi, lintas semua interest dan komitmennya tunggal untuk keselamatan dan perlindungan kepada Pasien.

Dalam konteks itu, dunia Kedokteran tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun, sekalipun sang Dokter tidak menjanjikan kesembuhan bagi pasiennya, tetapi berkewajiban memberikan pelayanan kedokteran dengan sebaik-baiknya sesuai Standar yang ditetapkan Profesi sejenis dan telah ditetapkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) atas nama Undang-Undang RI.

Jakarta, 4 April 2022

Dr.Abidinsyah Siregar,DHSM,MBA,MKes

*) Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes/ Mantan Deputi BKKBN/ Mantan Komisioner KPHI/ Mantan Sekretaris KKI/ Kepala Pusat Promkes Depkes RI/ Ses Itjen Depkes RI/ Direktur Pelay,Kestrad Komplementer Kemenkes RI/ Alumnus Public Health Management Disaster, WHO Searo, Thailand/ Sekretaris Jenderal PP IPHI/ Mantan Ketua Harian MN Kahmi/ Mantan Ketua PB IDI/ Ketua PP ICMI/ Ketua PP DMI/ Waketum DPP JBMI/ Ketua  PP ASKLIN/ Penasehat PP PDHMI/ Waketum PP Kestraki/ Penasehat BRINUS/ Klub Gowes KOSEINDO/ Ketua IKAL FK USU/ PP KMA-PBS/ Wakorbid-1 DPP IKAL Lemhannas. Founder GOLansia.com dan pengasuh Kanal-kesehatan.com.Pegiat Kesehatan Tradisional.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *